Jumat, 01 Juni 2012

QUO VADIS “SUARA MAHASISWA” ?


Sebagai prolog dari tulisan ini, penulis hendak menyampaikan ucapan belasungkawa dan sedih yang mendalam atas beberapa fenomena kecil secara kasat mata namun sangat bernilai ketika direfleksikan dalam perenungan yang mendalam. Salah satunya adalah ketika penulis mengetik kata “mahasiswa jogja” di searching Google,  yang muncul adalah deretan data tentang kasus yang melingkupi dunia mahasiswa Yogyakarta. Mulai dari kasus longgarnya kos-kosan yang
mengakibatkan mudahnya mahasiswa dan mahasiswi berbaur secara bebas hingga kasus persentasi sebuah penelitian yang mengatakan bahwa 97,05% mahasiswi Yogyakarta tidak perawan lagi. Memilukan sekaligus memalukan. Jika ditelusuri lebih jauh, kita akan mendapati sebuah kenyataan yang lebih memprihatinkan lagi. Direktur Eksekutif Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH), Iip Wijayanto, kepada wartawan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), JI. Malioboro, Yogyakarta, menyampaikan sebuah persen data yang sungguh mencengangkan, bahwa 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah tidak perawan lagi. Dari 1.660 responden penelitian LSCK PUSBIH (1999-2002), hanya 2,95% yang belum melakukan hubungan seks berpasangan atau 2,77% ditambah 0,18%. Sementara sebanyak 97,05% telah melakukan kegiatan seks berpasangan. Sebanyak 63% melakukan kegiatan seks di tempat kost pria pasangannya, 14% dilakukan di tempat kost putri atau rumah kontrakannya, 21% di hotel kelas melati yang tersebar di kota Yogya dan 2% lagi di tempat wisata yang terbuka.
Kembali ke topik awal, suara mahasiswa tidak dapat dimaknai secara leterlek-tekstual saja. Suara mahasiswa bukan sekedar intonasi nada-nada, logopedi, serta kata-kata dari mulutnya. Suara mahasiswa adalah muatan ekspresi intelektual dari hati, moral, pengetahuan, visi-misi, serta pandangan dari seorang mahasiswa. Suara mahasiswa adalah suara mereka yang berpayung lampu merah, suara mereka yang tertindas, serta suara mereka yang menginginkan perubahan sesuai dengan motto mahasiswa sebagai agent of change. Inilah fungsi mahasiswa; melakukan intelektualisasi pemikiran serta menyuarakan serak-serak dan teriakan dari rakyat yang menginginkan aplikasi sila-sila Pancasila dan pasal-pasal UUD.
Kajian selanjutnya adalah komparasi antara status “suara mahasiswa” dalam definisi tadi dengan kenyataan yang terjadi di dunia kemahasiswaan belakangan ini. Mahasiswa yang digadang sebagai aplikator selanjutnya dari ide-ide rekonstruktif dan visi-misi kerakyatan, seringkali menorehkan tinta hitam dengan kisah-kisah yang memalukan. Sebut saja cerita tawuran mahasiswa antar fakultas, hingga cerita seperti dalam prolog tadi. Jika mengaca pada kinerja mahasiswa pra-reformasi, kita akan mendapati kisah-kisah inspiratif dan penuh makna. Tengoklah pada tahun 1966, mahasiswa bersama ABRI dan rakyat berperan melahirkan Orde Baru yang meruntuhkan supremasi Orde Lama yang dianggap sebagai kebijakan yang tidak memihak rakyat lagi. Tahun 1977 / 1978 mahasiswa melakukan tindakan korektif menentang kecurangan Orde Baru dalam pelaksanaan pemilu. Serta yang paling spektakuler adalah gerakan mahasiswa dalam meruntuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998.
Memang, kita tidak boleh melupakan peran mahasiswa yang lain, yang masih menyanyikan “suara” mereka dengan indah. Masih banyak mahasiswa yang berprestasi, berperan sebagaimana mestinya, serta memiliki idealisme merakyat dalam bingkai realitas yang sangat mengagumkan. Kita wajib memberikan applaus kepada mereka. Namun kita juga tidak dapat menutup diri dari kenyataan kebobrokan mahasiswa yang lain. Ada mahasiswa yang mencampuradukkan fungsi dan idealisme hakiki mereka dengan kepentingan lain semacam politik dan sebagainya. Ada pula mahasiswa yang tidak lagi menjadikan kampus sebagai media pembentukan karakter militan yang reformatif dan berintelektual. Kenyataannya, kampus bukan lagi sebatas ruang diskusi dan belajar kelompok, tetapi telah berkembang menjadi ruang kencan yang “berlebihan” dan kegiatan remaja lainnya. Perpustakaan bukan lagi sekedar wadah pencarian prakata, kata-kata, dan pustaka dari sebuah karya para intelektual, namun telah berimprovisasi menjadi tempat berdua-duaan antara mahasiswa dan mahasiswi membahas masalah yang sangat tidak edukatif. Bahkan yang paling memalukan adalah ketika organisasi politik mahasiswa bukan lagi sekedar media pemupukan potensi berpolitik, akan tetapi telah berkembang sebagai media pencarian popularitas serta perlakuan barbar. Seringkali terjadi kericuhan antar organisasi politik mahasiswa hanya karena persoalan perebutan kursi dan kekuasaan dalam struktu perpolitikan kampus.
Lantas di manakah “suara mahasiswa” itu berada? Masih adakah di sela-sela kursi kuliah mahasiswa? Ataukah di setiap hela nafas mahasiswa di antara rak-rak buku di perpustakaan? Ke manakah “suara mahasiswa” itu akan dibawa? Ke arah realitas-progresif yang sesuai dengan idealisme kerakyatan dan fungsi hakikat mahasiswa atau ke arah kehancuran idealisme dan fungsi mahasiswa itu sendiri? Quo vadis “suara mahasiswa”? Jawabannya ada di tangan mahasiswa itu sendiri. Apakah akan bangun dan melakukan tindakan preventif terhadap terjadinya kejadian-kejadian yang lebih miris lagi, ataukah tetap pulas dalam ketidaksadaran dan keterlenaan yang menghanyutkan ini? Inilah epilog dari refleksi ketidaknyamanan akan dunia mahasiswa belakangan ini, sekaligus evaluasi korektif dalam diri mahasiswa tersebut.


Oleh    : Pangeran S Naga P
              Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits
              Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar