Tanpa kau pedulikan jarum waktu yang bergemuruh semenjak tadi di sampingmu
Tidak kau pedulikan banjir yang menenggelamkan jiwa-jiwa peri di sisi
kirimu
Tidak juga kau hiraukan maling yang menggerayangi mewah tanahku
Apatismu terlalu tinggi membiarkan realita sosial membunuh anak-anak,
ibu-ibu hamil, lelaki renta tak berjenggot, atau nenek-nenek kerontang berkumis
karena tidak mampu membeli obat untuk penyakitnya
Kau terlalu mesra memperkosa buku-buku itu
Tanpa kau tahu bahwa buku bukan firman ortodoksi
Tapi titah realisasi menghapus kejumudan terhadap kebijakan manusia
Kau juga terlalu terlena menikmati lekuk tubuh buku-buku itu
Nyatanya kau jadikan dia hanya sebagai referensi dan penghantar sarjana
atau doktoral
Atau mungkin hanya sebagai penghantar tidur
Lalu kau lupakan erangan manusia di luar sana
Bukan erangan suami menemani istri
Tetapi pengemis mengetuk rumahmu
Dan kau masih terpekur dengan buku-bukumu
Tanpa kau sadari bahwa kau manusia
Tanpa kau mengerti bahwa kau telah berubah menjadi homo homini lupus
Ah, kau
Terlalu lama aku berzikir di telingamu
Sampai berbuih mulutku
Memenuhi gendang telinga ortodoksmu
Tanpa kau pahami bahwa kau itu intelek, bukan budak teori, lantas terpekur
tak berdaya, terkungkung dalam retorika yang kau pelajari, tanpa realisasi pada
jelata
Masih kau berbangga dengan strata pendidikanmu?
Sementara di sekelilingmu masih banyak musisi amatir menggelar konser di
lampu merah dan bis-bis kota
Masih juga kau berbangga dengan naskah-naskah lusuhmu?
Yang kau peluk hampir bertahun-tahun
Sementara di luar sana badut-badut kleptokrat berpesta pora, ditemani lagu
country bernada indah
Sementara para miskin merinding sengsara, diiringi lantunan “Glomy Sunday”
yang mencekam itu
Kau
Ini bukan hanya tentang buku, teori, retorika, atau indeks prestasi
Karena di setiap gang masih butuh rupiah, masih butuh nafas
Kau
Ini bukan sekedar ortodoksi
Bertahan pada sikapmu yang apatis
0 komentar:
Posting Komentar