Sebagai prolog dari tulisan ini, penulis hendak menyampaikan ucapan
belasungkawa dan sedih yang mendalam atas beberapa fenomena kecil secara kasat
mata namun sangat bernilai ketika direfleksikan dalam perenungan yang mendalam.
Salah satunya adalah ketika penulis mengetik kata “mahasiswa jogja” di searching
Google, yang muncul adalah deretan
data tentang kasus yang melingkupi dunia mahasiswa Yogyakarta. Mulai dari kasus
longgarnya kos-kosan yang
mengakibatkan mudahnya mahasiswa dan mahasiswi
berbaur secara bebas hingga kasus persentasi sebuah penelitian yang mengatakan
bahwa 97,05% mahasiswi Yogyakarta tidak perawan lagi. Memilukan sekaligus
memalukan. Jika ditelusuri lebih jauh, kita akan mendapati sebuah kenyataan
yang lebih memprihatinkan lagi. Direktur Eksekutif Lembaga Studi Cinta dan
Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH), Iip
Wijayanto, kepada wartawan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), JI. Malioboro, Yogyakarta, menyampaikan
sebuah persen data yang sungguh mencengangkan, bahwa 97,05% mahasiswi di
Yogyakarta sudah tidak perawan lagi. Dari 1.660 responden penelitian LSCK
PUSBIH (1999-2002), hanya 2,95% yang belum melakukan hubungan seks berpasangan atau
2,77% ditambah 0,18%. Sementara sebanyak 97,05% telah melakukan kegiatan seks
berpasangan. Sebanyak 63% melakukan kegiatan seks di tempat kost pria
pasangannya, 14% dilakukan di tempat kost putri atau rumah kontrakannya, 21% di
hotel kelas melati yang tersebar di kota Yogya dan 2% lagi di tempat wisata
yang terbuka.
Kembali ke topik awal, suara mahasiswa tidak dapat dimaknai secara
leterlek-tekstual saja. Suara mahasiswa bukan sekedar intonasi nada-nada,
logopedi, serta kata-kata dari mulutnya. Suara mahasiswa adalah muatan ekspresi
intelektual dari hati, moral, pengetahuan, visi-misi, serta pandangan dari
seorang mahasiswa. Suara mahasiswa adalah suara mereka yang berpayung lampu
merah, suara mereka yang tertindas, serta suara mereka yang menginginkan
perubahan sesuai dengan motto mahasiswa sebagai agent of change. Inilah
fungsi mahasiswa; melakukan intelektualisasi pemikiran serta menyuarakan
serak-serak dan teriakan dari rakyat yang menginginkan aplikasi sila-sila
Pancasila dan pasal-pasal UUD.
Kajian selanjutnya adalah komparasi antara status “suara mahasiswa”
dalam definisi tadi dengan kenyataan yang terjadi di dunia kemahasiswaan
belakangan ini. Mahasiswa yang digadang sebagai aplikator selanjutnya dari
ide-ide rekonstruktif dan visi-misi kerakyatan, seringkali menorehkan tinta
hitam dengan kisah-kisah yang memalukan. Sebut saja cerita tawuran mahasiswa
antar fakultas, hingga cerita seperti dalam prolog tadi. Jika mengaca pada
kinerja mahasiswa pra-reformasi, kita akan mendapati kisah-kisah inspiratif dan
penuh makna. Tengoklah pada
tahun 1966, mahasiswa bersama ABRI dan rakyat berperan melahirkan Orde Baru
yang meruntuhkan supremasi Orde Lama yang dianggap sebagai kebijakan yang tidak
memihak rakyat lagi. Tahun 1977 / 1978 mahasiswa melakukan tindakan korektif
menentang kecurangan Orde Baru dalam pelaksanaan pemilu. Serta yang paling
spektakuler adalah gerakan mahasiswa dalam meruntuhkan rezim Orde Baru pada
tahun 1998.
Memang, kita tidak boleh melupakan peran mahasiswa
yang lain, yang masih menyanyikan “suara” mereka dengan indah. Masih banyak
mahasiswa yang berprestasi, berperan sebagaimana mestinya, serta memiliki
idealisme merakyat dalam bingkai realitas yang sangat mengagumkan. Kita wajib
memberikan applaus kepada mereka. Namun kita juga tidak dapat menutup
diri dari kenyataan kebobrokan mahasiswa yang lain. Ada mahasiswa yang
mencampuradukkan fungsi dan idealisme hakiki mereka dengan kepentingan lain
semacam politik dan sebagainya. Ada pula mahasiswa yang tidak lagi menjadikan
kampus sebagai media pembentukan karakter militan yang reformatif dan
berintelektual. Kenyataannya, kampus bukan lagi sebatas ruang diskusi dan belajar
kelompok, tetapi telah berkembang menjadi ruang kencan yang “berlebihan”
dan kegiatan remaja lainnya. Perpustakaan bukan lagi sekedar wadah pencarian
prakata, kata-kata, dan pustaka dari sebuah karya para intelektual, namun telah
berimprovisasi menjadi tempat berdua-duaan antara mahasiswa dan mahasiswi
membahas masalah yang sangat tidak edukatif. Bahkan yang paling memalukan
adalah ketika organisasi politik mahasiswa bukan lagi sekedar media pemupukan
potensi berpolitik, akan tetapi telah berkembang sebagai media pencarian
popularitas serta perlakuan barbar. Seringkali terjadi kericuhan antar
organisasi politik mahasiswa hanya karena persoalan perebutan kursi dan
kekuasaan dalam struktu perpolitikan kampus.
Lantas di manakah “suara mahasiswa” itu berada?
Masih adakah di sela-sela kursi kuliah mahasiswa? Ataukah di setiap hela nafas
mahasiswa di antara rak-rak buku di perpustakaan? Ke manakah “suara mahasiswa”
itu akan dibawa? Ke arah realitas-progresif yang sesuai dengan idealisme
kerakyatan dan fungsi hakikat mahasiswa atau ke arah kehancuran idealisme dan
fungsi mahasiswa itu sendiri? Quo vadis “suara mahasiswa”? Jawabannya ada di
tangan mahasiswa itu sendiri. Apakah akan bangun dan melakukan tindakan preventif
terhadap terjadinya kejadian-kejadian yang lebih miris lagi, ataukah tetap
pulas dalam ketidaksadaran dan keterlenaan yang menghanyutkan ini? Inilah
epilog dari refleksi ketidaknyamanan akan dunia mahasiswa belakangan ini,
sekaligus evaluasi korektif dalam diri mahasiswa tersebut.
Oleh : Pangeran S Naga P
Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar